Friday, November 12, 2010

"jangan terus-terusan berdoa sama tuhan biar dia dapet karma. semakin lo berdoa semakin gak bakal terjadi. bisa bisa nanti kena ke elonya. jalanin aja...sekarang lo lo dia dia. cukup terakhir kali gue denger lo nangis karna dia. gue yakin tuhan tau kok rasanya jadi lo, dan gue yakin tuhan punya jalan buat lo sama dia. tuhan gamungkin rela ngeliat umatnya yg nyesek bener-bener kayak lo. percaya sama gue, sekarang jangan nangis lagi ya, kan ada gue:)"







ps: thank u &ilove u:)

Half Circle

Punya kakak sempurna adalah hal yang luar biasa mengganggu, apa lagi jika kalian terlahir kembar. Meskipun kami kembar identik tapi sifat kami tidak bisa dibilang kembar, jadi jangan dibandingkan!
Ok kakakku memang pintar, dan ramah juga jago olah raga -tipe cowok sempurna di komik-komik- jika dibandingkan denganku yang dingin dan cuek juga gak begitu tertarik sama belajar dan olah raga. Tapi kalau dalam hal tampang sih kami juga sama, sama cakepnya sama kerennya -cuma pendapat sendiri aja sih-.
"Ren...Reno!!" Ibu berteriak-teriak dari ruang makan memanggilku yang masih asik tidur di kamar.
"Ren, bangun! Nanti Ibu ngamuk loh," Reldi, kakak kembarku menarik tanganku yang masih terlentang di kasur.
Aku berusaha bangun tapi otakku masih setengah melayang. Tidakkah Rel punya sesuatu yang lebih penting dibanding membangunkanku tidur?Aku mengikuti keinginan Rel
dan bergabung bersama ibuku di meja makan, sarapan telah siap di atas meja. Aku sedikit melirik jam -masih jam 7- dan ini hari minggu! Aku bisa gila kalau setiap pagi bangun pagi! -ini hanya berlaku bagiku saja sepertinya-
"Ren, tidakkah kau mau masuk universitas yang sama kaya Rel?" Ibu memulai perbincangan.
"Gak," Tegasku.
"Tapi kalian kan sudah satu sekolah dari TK, memangnya kamu bisa pisah dari Rel?"
Aku berhenti menggigit roti berselai stroberi itu. "Itu hanya keinginan ibu saja kan? Aku tidak pernah minta terus bersama Rel," kesalku muncul.
"Tapi Ren..."
"Gak apa Ibu, Ren kan sudah besar bukan anak kecil lagi yang disuruh-suruh terus bareng kembarannya," Rel berusaha membela.
Ibu terdiam, jika Rel mulai berbicara sepertinya ibu berusaha mengerti.
"Kamu takut gak sanggup kejar ranking Rel ya Ren? Kamu pasti bisa kok kalian kan kembar," Ibu mengeluarkan alasan -dirinya sendiri- lainnya.
Aku menaruh rotiku kembali ke piring lalu menggebrak meja."Meskipun wajah kita sama, kita ini pribadi yang beda Bu! Bisakah Ibu berhenti membicarakannya?" Aku menaikan suaraku, Lalu segera beranjak dari kursiku.
"Ren!" Rel mengejar.
Rel menarik bahuku, "Aku tahu kau kesal tapi, kau tahu kan Ayah kita udah gak ada jadi Ibu hanya bisa berharap pada kita," Rel berusaha menjelaskan.
Aku memandang Rel, "Aku tahu, tapi aku punya kehidupanku sendiri Rel. Aku bukan dirimu, aku bukan bayanganmu."**********
Aku suka sejarah, sejarah adalah sebuah cerita yang membuat kita bisa mengalunkan mimpi ke masa depan tanpa mengulang sejarah yang buruk dan dengan mencontoh sejarah yang baik. Karena itu setiap hari minggu aku selalu diam di perpustakaan, bukan untuk belajar tapi untuk meredakan rasa hausku akan cerita sejarah.
Saat sedang membaca buku mengenai pompeii, handphone ku bergetar. Semua bayanganku tentang kota yang terkubur dalam abu itu pun hilang seketika.
"Halo," jawabku di telepon.
Awalnya aku ingin segera menyelesaikan percakapanku ditelepon. Tapi, berita yang aku dapatkan sungguh membuatku tidak dapat menutup telepon itu sama sekali. Membuat mulutku tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Aku membeku.
************
Hari itu, Ibu terus menangis tidak hentinya. Aku juga saat ini begitu ingin menangis tapi jika aku tidak bisa tegar, bagaimana ibu bisa tegar?
Kami semua di sini hanya bisa memandang jasad Rel yang dimasukkan ke liang kubur, kecelakaan itu telah membunuhnya. Melihat Rel yang tak bernyawa lagi, seperti melihat diriku sendiri yang sudah mati.
Teman-teman satu sekolah berusaha menghiburku dan ibu, sampai saat mereka mengucapkan selamat tinggal karena hari akan usai.
Saat semua orang sudah pergi, ibu kembali menangis. Kami duduk di ruang tamu kecil rumah kami. Ibu masih memegang foto Rel ditangannya.
Aku tidak tahu harus berkata apa, berbuat apa. Semua kata-kataku telah terbakar bersama rasa sedih kehilangan setengah dari kehidupanku. Aku tidak pernah berfikir perpisahan yang aku inginkan itu adalah perpisahan untuk selamanya bagiku dan Rel, aku tidak ingin.
Telepon rumah berbunyi, ibu segera keluar dari bayang-banyangnya mengenai Rel. dia segera beranjak dan mengankat telepon.
Samar-samar ditelingaku percakapan ibu di telepon.
Aku bangkit dari dudukku, mencoba mengambil segelas air untuk sedikit menyegarkan tenggorokanku, tapi langkahku terhenti di balik dinding tempat ibuku menelepon.
"Seandainya Ren saja yang pergi..." Ibu berbisik pelan sambil menangis.
Entah kenapa air mata yang berusaha aku tahan sejak tadi pagi tiba-tiba menetes. Aku segera berlari ke kamar, kututup pintu dengan keras dan terjatuh dibaliknya. Menjatuhkan kepalaku di lutut. Rasa kesal, rasa marah, rasa bersalah semuanya serasa meluap di otakku. Seandainya aku yang mati, mungkinkah ibu tidak akan sesedih ini?
**************
Ini adalah hari pertama kami sarapan tanpa Rel. Saat aku bangun aku masih terbayang sosok Rel yang membangunkanku. Rindu.
"Ibu," Kini aku memulai pembicaraan.
Ibu hanya memandangku berusaha menjawab panggilanku.
"Ren memang bukan Rel, mungkin Ren lah yang pantas lebih mati dibandingkan Rel," kataku pelan.
"Ti...Tidak..." ibu tersentak.
"Ren memang tidak berguna," lanjutku.
"Bukan begitu Ren..." ibu berusaha menghentikanku.
"Tapi ibu," aku menghela nafas dalam-dalam. "Ren sedang berjuang saat ini."
Ibu terdiam memandangku.
"Ren sedang berusaha membahagiakan ibu dengan jalan Ren sendiri. Ren dan Rel hanya berusaha untuk ibu, tapi mungkin cara Ren berbeda dari Rel, karena itu..."
Ibu kembali mengeluarkan air matanya, tanpa berkata apapun didekatinya aku lalu dipeluknya erat-erat.
Mungkin untuk saat ini masih sulit bagi ibu untuk menerima jalan yang aku pilih tapi, aku akan berusaha 2 kali lebih kuat untuk bagian Rel juga.



dibacaya......